On Reading

Tragic Sandwich

Reading

I’ve always loved to read. I started reading on my own at age four and just kept going. I almost always have a book with me (particularly now that I have an iPod Touch with the Kindle app), and I often have multiple books going at once. I hope that Baguette will love to read–and she certainly seems to be enjoying it at the moment.

My approach with her is to let her enjoy the book in whatever way she wants to at the moment. We started by reading to her, particularly as part of a nighttime routine (oh, hey, I guess we did have one of those once). Then, she decided that we were not allowed to read to her. She would grab the book out of my or Mr. Sandwich’s hands and move away from us so that she could flip the pages on her own, narrating…

Lihat pos aslinya 161 kata lagi

Mirror, mirror, on the wall…

adrenaline junkie

animationism


.:: top 10 biggest and best jumps ever ::.

First track- Last Jungle by Sub Focus
Second track- Blue Foundation, Eyes on Fire (Zed’s Dead remix)

Lihat pos aslinya

The Girl-Friendly World of Studio Ghibli

geekalitarian

Though women and girls in anime can be very problematic, one kind of animated Japanese import doesn’t make me worry about the portrayal of female characters. These films are imaginative, beautifully drawn, highly successful, and usually feature good portrayals of girls and women. This group is, of course, the films made by Studio Ghibli.

So, I’m personally pretty excited about their newest film, which comes to US theaters February 17. Even though Ponyo, the last Studio Ghibli film released in the US, was a little disappointing, I’m still looking forward to The Secret World of Arrietty.

Like the trailer says, the film is based on the novel The Borrowers, a book I remember reading as a child (though I can’t remember how much I liked it). It also features a girl protagonist, like many Studio Ghibli films. Though it doesn’t seem like it will be on the…

Lihat pos aslinya 96 kata lagi

Cerpen Pertama

Semua Untuk Ayah

Karya : Mirandha Ariesca

Sudah dua jam aku berkutat dengan soal-soal fisika. Dalam hati, aku mengutuk ilmuwan-ilmuwan fisika yang berhasil mencetuskan pemikiran-pemikiran cerdas mereka, dan menciptakan rumus-rumus aneh, yang entah mengapa tak satu pun bisa tersimpan dalam memori otakku. Ku letakkan pensilku dengan kasar, lalu berjalan gontai menuju jendela di sisi kiri kamarku. Tetes-tetes air hujan bergerak turun membentuk beberapa aliran sungai kecil di permukaannya. Aku selalu menikmati saat-saat seperti ini, dimana aku bisa duduk bersantai di depan jendela, dan mengagumi betapa anggunnya tetes-tetes air hujan ini berjatuhan dari langit.

Sejurus kemudian, ku palingkan wajahku menatap inchi demi inchi ruang kamarku. Perhatianku tertuju pada deretan foto yang tertata rapi di atas meja samping tempat tidurku. Ku hampiri meja tersebut dan ku perhatikan satu per satu foto yang ada di sana. Deretan paling kanan, fotoku bersama ayah saat aku masih berumur 6 tahun. Di sebelahnya, fotoku bersama Kak Ririn. Aku ingat foto itu diambil ketika kami liburan ke Bali. Saat itu umurku 9 tahun dan Kak Ririn 13 tahun. Foto selanjutnya memperlihatkan wajah adik-adikku, Raisha dan Romi, yang saat itu masih berumur 6 tahun dan 3 tahun. Foto paling ujung adalah fotoku yang diapit oleh ayah dan ibu. Waktu itu ulang tahunku yang ke-10 dan ibu membuatkan pesta kecil-kecilan untukku. Dalam foto, aku tersenyum lebar sambil ayah dan ibu menciumi kedua pipiku.

Aku tersenyum tipis mengingat betapa menyenangkannya masa kecilku. Dulu, setiap akhir pekan, kami sekeluarga pergi berlibur entah itu ke taman ria atau ke pantai. Ayah seringkali  menyewa pondokan di pinggir pantai untuk tempat menginap kami. Tidak seperti sekarang, jangankan berlibur di akhir pekan, makan siang bersama saja rasanya sudah tidak pernah. Ayah semakin sibuk dengan pekerjaannya sebagai dosen di salah satu PTN favorit di kota ini. Sama halnya dengan ibu yang bekerja sebagai dosen di salah satu PTS terkemuka. Kak Ririn yang sudah menjadi mahasiswi semester akhir sebuah PTN di Jakarta hanya bisa pulang setahun sekali saat liburan hari raya. Sedangkan Raisha sibuk mempersiapkan diri untuk UN. Tahun ini ia akan mengikuti UN untuk melepas seragam putih birunya. Sama halnya dengan Romi. Bedanya, Romi harus berjuang untuk lulus dari bangku SD. Perjuangan Romi juga tidak sekeras perjuangan Raisha. Romi lebih santai dan cuek, tetapi entah otak macam apa yang ada dalam kepalanya, semalas apapun ia belajar, ia tetap bisa menjadi bintang kelas selama 6 tahun berturut-turut. Bukankah itu sebuah keajaiban?

Aku menghela napas berat. Ku seret kakiku menuju meja belajar. Masih ada 5 soal yang harus aku selesaikan. Kadang aku menyesali jalan yang sudah aku ambil. Memutuskan bergabung di kelas percepatan Sekolah Menengah Atas nomor satu di kota ini. Sempurna! Sempurna merusak masa-masa indah yang aku idam-idamkan. Sewaktu masih duduk di bangku kelas 3 SMP, aku selalu membayangkan betapa indahnya kelak masa SMA-ku. Mengenakan seragam putih abu-abu, bergosip dengan teman-teman terbaikku, dan tentunya memiliki “penyemangat belajar”. Tetapi satu kalimat sederhana yang terlontar dari mulut ayah ternyata dapat menghancurkan semua khayalanku. “Bukankah lebih baik kalau kau mendaftar di SMA Trisakti?”. Awalnya, itu hanya saran yang harus aku ikuti. Entahlah, aku tidak pernah bisa membantah apapun kata ayah. Diluar dugaanku, aku lulus di sekolah itu. Tentu saja aku khawatir. Khawatir bagaimana nasib masa-masa SMA-ku selanjutnya. Benar saja, namanya juga sekolah unggulan nomor satu. Aku harus belajar keras untuk bisa bertahan. Khayalanku tentang masa-masa indah di SMA semakin pudar saat staf bidang konseling sekolah mengabarkan keberhasilanku masuk kelas percepatan. Langit seakan runtuh menimpa kepalaku. Tapi di depan ayah aku tidak berani menunjukkan kekecewaanku. Di depan ayah aku harus terlihat senang layaknya seorang anak berbakti yang berhasil mewujudkan keinginan orang tuanya.

Sekarang inilah aku. Anak kedua pasangan dosen, yang duduk di kelas percepatan SMA unggulan nomor satu, dengan pelajaran-pelajaran yang dipaksa masuk ke dalam otak, dan khayalan tentang indahnya masa SMA. Hidup yang sempurna bukan? Kalau bukan karena ayah, mungkin aku sudah menenggak racun botolium semenjak hari pertamaku di sekolah.

            “Bu, ayah mana?”, tanyaku. “Tadi ayah sedang mencuci mobil di luar. Coba kamu lihat,” jawab ibu tanpa mengalihkan perhatiannya dari sup yang sedang dimasaknya. Aku berlari ke teras. Benar saja, ayah sedang mencuci mobil. Ku hampiri ayah dengan wajah berseri-seri. “Ayah..”, ucapku membuka percakapan. “Besok kan weekend, kita mancing yuk. Kayaknya udah lama banget deh sejak kita terakhir kali mancing.”. Ayah menoleh ke arahku dan tertawa sebentar, “Tumben kamu ngajak ayah mancing. Terakhir kali mancing, seingat ayah kamu ngeluh kepanasan deh.”, sambung ayah. “Aaah ayah itu kan karena tempatnya emang lagi panas aja. Ya ayah yaa..”, rajutku manja. “Iya, besok kita mancing. Kamu bilang sama ibu biar ibu siapin bekal buat besok.”, kata ayah. “Yessss.. Oke deh.”, seruku kegirangan. Aku berlari kembali ke dapur dan memberitahu ibu rencana kami untuk besok.

            Jam di layar handphoneku baru menunjukkan pukul 07.15 saat aku dan ayah sampai di Waduk Angkian. Waduk ini memang diperuntukkan bagi orang-orang pecinta fishing. Saat kami tiba, waduk masih sangat sepi. Ayah memilih tempat di bawah sebuah pohon besar. Sepuluh menit kemudian aku sudah berdiri bersampingan dengan ayah dengan alat pancing siap di tangan. Kulemparkan mata pancingku yang sudah dipasangi umpan oleh ayah. “Sebentar lagi kamu lulus. Sudah ada rencana mau kuliah dimana?”’ tanya ayah membuka percakapan setelah hening sejenak. “Emm, rencananya sih aku mau coba di UI atau di UGM yah. Tapi aku belum yakin.”, jawabku ragu. “Belum yakin kenapa?”, tanya ayah. “Kata orang, seleksi masuknya ketat banget. Aku takut nggak bisa.”, jawabku. “Kalau soal itu, ayah yakin kamu bisa selama kamu mau berusaha. Yang terpenting itu kemauan kamu. Kamu benar-benar mau nggak masuk sana.”, kata ayah. “Aku sih mau yah, tapi..”, kalimatku menggantung. “Tapi kenapa?”, tanya ayah. “Apa menurut ayah aku sebaiknya kuliah di PTN di kota ini aja?”, aku balas bertanya. “Kamu takut jauh dari rumah?”, tanya ayah yang seketika membuatku merasa sesak. Aku hanya diam. “Ayah menaruh harapan besar kelak kamu akan lebih sukses daripada ayah dan ibu. Dan ayah yakin, kalau kamu kuliah di sini, itu tidak akan banyak membantu. Tapi, kalau kamu tidak yakin bisa mengurus diri sendiri di luar, ayah juga tidak akan membiarkan kamu pergi. Siapa yang akan bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu?” lanjut ayah. Aku merasakan mataku memanas. “Sejak kecil kamu adalah anak yang manja. Tapi dibalik sifat manja itu, ayah yakin kamu anak yang pemberani dan kuat. Apa mungkin ayah salah?”, tanya ayah menatapku. Aku hanya bisa balas menatap ayah. “Takut kecoak tentu bukan tolak ukur seorang pemberani bukan?”, goda ayah. Aku tertawa. Ayah mengungkit kejadian semalam.

Semalam ketika aku baru saja akan menutup mata, seekor kecoak berjalan dari arah jendela. Aku kaget dan spontan berteriak memanggil ayah. Dari kecil aku memang sangat takut kecoak. Ayah yang mendengar teriakanku segera menghambur ke dalam kamar. Ayah tidak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang terlihat kaget saat mendapatiku bersembunyi di balik selimut. “Ada apa?”, tanya ayah. “Ada kecoak yah”, jawabku takut-takut. Ayah menghembuskan napas lega dan segera mengusir kecoak itu.

Aku dan ayah tertawa mengingat kejadian itu. Tapi kata-kata ayah membawa pengaruh besar dalam fase kehidupanku selanjutnya. Kata-kata ayah kemudian membuatku berani mengambil keputusan-keputusan penting.

            Empat tahun berlalu sejak percakapanku dengan ayah di Waduk Angkian. Sekarang aku adalah mahasiswi semester akhir Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Aku berhasil melewati masa-masa sulitku berada jauh dari rumah berkat dorongan dari ayah. Tahun pertamaku di Jakarta terasa sangat berat. Mulai dari kesibukan masa ospek, susahnya mengatur jadwal kuliah, menumpuknya tugas-tugas yang diberikan, dan yang tersulit menyesuaikan diri dengan tempat kost. Aku benar-benar tidak percaya bahwa aku bisa bertahan ngekost sendirian di Jakarta selama 4 tahun, mengingat dulu aku adalah anak yang manja, tidak bisa masak, dan sangat takut kecoak. Tapi aku berhasil membuktiakan kepada dunia bahwa ayah benar. Di balik sifat manjaku ternyata aku adalah anak yang pemberani dan kuat.

Hari itu, entah kenapa aku kepikiran ayah terus. Sudah sebulan ini aku tidak mendengar kabar ayah. Belakangan ini aku memang sibuk mengurus skripsiku sampai lupa menghubungi ayah. Tapi biasanya kalau aku tidak menghubunginya, ayah akan menghubungiku lebih dulu.

Begitu mata kuliahku selesai, aku segera menghubungi ayah. Terdengar nada pengalihan dari seberang. Tidak biasanya ayah menon-aktifkan handphonenya pada jam kerja seperti ini. “Mungkin ayah sedang sibuk.”, pikirku. Ku coba menghubungi ibu, tetapi tidak ada jawaban. Begitu seterusnya sampai tiga kali. Aku memutuskan untuk mencoba kembali nanti malam.

Baru saja aku akan memasukkan handphoneku ke dalam tas, benda itu bergetar. Nama ibu berkedap-kedip di layar. “ Haloo..”, ucapku. “Halo..”, suara berat ayah terdengar dari seberang. Kali ini, suara itu terdengar berbeda, agak serak. “Ayah, apa ayah baik-baik saja?”, tanyaku khawatir. “Ayah baik-baik saja.”, jawab ayah. Aku lega mendengarnya. Kami berbincang selama satu jam. Perbincangan yang entah kenapa membuatku merasa takut. Takut kehilangan ayah.

            Aku sedang makan siang di kantin saat ku rasakan handphoneku bergetar. “Halo bu..”, ucapku menjawab telepon ibu. Tidak ada jawaban. “Ibu..”, ku ulangi kalimatku. “Rifka, apa kamu sedang sibuk?”, terdengar suara serak ibu. “Bu ada apa?”, tanyaku khawatir. “Ayah sedang sakit dan ingin bertemu denganmu. Tapi tenang ayah hanya sakit biasa. Kalau bisa, tolong kamu pulang sebentar.” Suara ibu terdengar bergetar. Tak terasa air mataku jatuh. Ku putuskan sambungan telepon. Lima belas menit berlalu dan aku masih mematung di tempatku. Badanku terasa kaku dan tidak dapat ku gerakkan. Aku mencoba menenangkan diri. Dengan kaki bergetar ku coba berdiri. Aku harus pulang.

            Pukul 04.00 WITA. Aku menggendong ranselku yang entah berisi apa menyusuri lobi kedatangan bandara kota kelahiranku. Aku sudah tidak merasakan lelahnya perjalanan panjang dari Jakarta. Yang aku pikirkan sekarang adalah bagaimana keadaan ayah. Apakah ayah benar-benar hanya sakit biasa? Aku mempercepat langkahku. Ku tumpangi salah satu taksi yang berjejer di pelataran depan pintu keluar bandara dan ku sebut nama rumah sakit tempat ayah dirawat. Berkali-kali ku paksa supir taksi untuk menambah kecepatan kendaraannya. Satu jam kemudian aku sampai di rumah sakit. Setengah berlari kucari ruangan ayah dirawat. Langkahku terhenti di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Inilah ruangan ayah. Aku mengumpulkan tenaga yang masih tersisa. Dengan bergetar ku ketuk pintu perlahan. Ku buka pintu lebih lebar dan melangkah masuk. Aku melihat ayah terbaring lemah di atas tempat tidur. Ibu dan Kak Ririn duduk di sisi ayah. Raisha dan Romi terlelap di sofa depan televisi.

Aku berjalan lemah menghampiri tempat tidur ayah. Aku tak dapat membendung air mataku. Ibu dan Kak Ririn berdiri dan langsung memelukku. Aku menangis sejadi-jadinya tapi ku tahan agar tidak menimbulkan suara takut ayah dan adik-adikku terbangun. Ibu dan Kak Ririn juga menangis. Entah berapa lama kami menangis. Setelah merasa agak tenang, aku meminta ibu menceritakan apa yang terjadi. Tapi ibu bersikeras menyuruhku beristirahat. Aku mengalah dan segera bergabung bersama Raisha dan Romi di sofa.

Pukul 06.00 WITA aku terbangun. Raisha dan Romi sedang bersiap-siap ke sekolah. Raisha sekarang duduk di kelas 3 SMA dan Romi di kelas 3 SMP. Sedangkan Kak Ririn bekerja sebagai Manager di salah satu bank swasta di kota ini. Raisha dan Romi tampak senang melihatku. Aku sempat memberi mereka pelukan sebelum berangkat sekolah.

Tak lama kemudian, ku lihat ayah terbangun dari tidurnya. Aku berjalan mendekatinya. “Rifka..”, ayah menyebut namaku. Suaranya serak. Lagi-lagi aku tidak dapat membendung air mataku. Betapa tidak, ayah yang selalu kuat, yang tidak pernah lepas dari sikap tegas dan kewibawaannya, yang selalu aku takuti, kini terbaring lemah dengan tubuhnya yang semakin kurus. Aku ingin tidak mempercayai mataku. Aku ingin berpura-pura bahwa ayah baik-baik saja. Tapi sungguh aku tidak bisa. “Ayah..”, aku tergugu dalam tangisku. Ayah memegang tanganku, menarikku ke sisinya. “Ayah baik-baik saja.”, ucapnya lemah. Aku benci kata-kata itu. Aku benci sikap ayah yang berpura-pura kuat. Aku benci kenyataan bahwa ayah mengidap diabetes kronis. Aku benci harus pergi saat aku ingin bersama ayah. Aku tahu ayah kesakitan. Aku tahu ayah takut. Aku tahu ayah ingin aku ada di sana. Tapi ayah lebih banyak diam. Ayah tidak pernah mengeluh kesakitan. Ayah tidak ingin kami khawatir. Ayah….

            Sabtu malam, aku benar-benar harus kembali ke Jakarta. Bukan karena tugas-tugasku yang harus ku selesaikan atau jadwal ujian yang menungguku. Aku tidak peduli lagi dengan semua itu. Tapi ayah, ayah memaksaku kembali. Seperti biasa, aku tidak bisa membantah.

Dua bulan kemudian, aku berhasil menyelesaikan skripsiku dan diterima dengan baik oleh dosen pembimbingku. Aku juga berhasil lulus ujian meja dan ujian-ujian lainnya. Aku sudah menyelesaikan semuanya. Dan besok, besok adalah hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam sejarah pendidikanku. Besok seharusnya aku bisa bergabung dengan teman-teman mengenakan jubah hitam dan menerima ijazah dan sertifikat kelulusanku. Besok seharusnya ayah dan ibu duduk di barisan terdepan di kursi yang telah ditata di aula gedung megah ini. Tapi takdir berkata lain.

            Taksi yang ku tumpangi berbelok memasuki lorong yang sangat ku kenali. Ada bendera putih terpasang di sana. Aku hanya menatap kosong. Tidak ada air mata di pipiku. Taksi itu berhenti tepat di depan sebuah rumah yang ramai dikunjungi orang-orang. Aku mengenal beberapa di antara mereka. Aku turun dari taksi setelah menyerahkan uang sesuai argo. Aku berdiri mematung di depan rumah itu. Rumah yang menyimpan semua kenangan masa kecilku. Ada bendera putih terpasang di sana.

Orang-orang yang ramai berkumpul di rumah itu kini menatapku. Ada rasa iba dalam tatapan mereka. Aku mulai melangkahkan kakiku yang entah kenapa terasa sangat berat. Seorang wanita paruh baya berlari memelukku sambil menangis terisak. “Sabar ya nak. Kamu harus kuat.”, ucapnya. Ku lihat orang-orang di sekelilingku mulai menitikkan air mata. Mereka menangis. Ku genggam tangan wanita itu yang kemudian membimbingku masuk ke dalam rumah.

Langkahku terhenti di depan pintu. Aku melihat Ibu, Kak Ririn, Raisha, Romi, dan beberapa keluarga dekat menangis tersedu. Tapi bukan itu yang membuatku sesak. Di sana, aku melihat ayah. Mayat ayah. Seketika ku rasakan kakiku lemas, aku jatuh terduduk. Wanita paruh baya itu masih di sana, dia memelukku dan kembali menangis. “Rifka, sabar nak.”, katanya. Aku sudah tidak bisa mendengarnya. Aku mencoba menenangkan diri. Ibu dan Kak Ririn menghampiriku. Mereka memelukku.

Beberapa lama kemudian, setelah merasa agak kuat, aku berdiri. Ku hampiri tubuh kaku ayahku. “Ayah..”, ucapku lirih. Tangisku pun pecah. Tak pernah ku bayangkan kejadian yang menimpaku hari ini. Rasanya aku ingin berteriak. Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Kini, aku benar-benar kehilangan ayah.

Beberapa jam berlalu. Itu benar-benar saat terakhir aku bisa melihat wajah penuh wibawa ayah secara langsung. Tak lama kemudian, mayat ayah dibawa menuju pemakaman. Aku tak kuasa melihatnya, jadi aku memutuskan untuk tinggal di rumah. Satu-satunya hal yang ku syukuri saat itu adalah aku berhasil membuat ayah bangga di saat-saat terakhir hidupnya. Aku berhasil mewujudkan harapan ayah dengan title Sarjana ku. “Ayah inilah persembahan terakhirku. Terima kasih atas semua dorongan ayah yang membuatku bisa menjadi seperti sekarang. Terima kasih ayah..”.

SELESAI

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.